Penulis Buku: “OUTSHINE, BERSINARLAH SEPERTI BINTANG”
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Semangat persaingan sering mendorong kita untuk mengejar kemenangan. Salah? Sama sekali tidak salah. Malah sebaliknya itu bisa meningkatkan tingkat competitiveness atau daya saing yang kita miliki. Tentu hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi persaingan yang semakin hari, semakin keras saja. Baik dalam kegiatan bisnis, pertandingan suatu cabang oleh raga, maupun aspek kehidupan kita secara umum. Ketika kita sedang bersaing, apa yang kita cari selain kemenangan? Ya..., boleh saja kita berkilah kalau kemenangan itu bukanlah segala-galanya. Tapi, bukankah kita sering sedih dan kecewa jika kalah? Bahkan kadang-kadang kita merasa kesal kepada pihak yang berhasil mengalahkan kita. Jika kita benar-benar menganggap kemenangan bukan segala-galanya, tentu tidak akan ada bisikan hati semacam itu. Jadi, mendingan kita secara terbuka saja mendeklarasikan bahwa kita memang mencari kemenangan.
Sekarang, bayangkan kembali ketika anda berhasil meraih kemenangan. Anda bersorak sorai. Anda bahagia. Anda bersuka cita, bukan? Tentu saja. Karena kemenangan itu identik dengan perayaan dan kegembiraan. Lalu, mari kita bayangkan Anda adalah seorang pemain sepakbola di team inti kesebelasan Manchester United. Klub yang dikenal royal kepada para bitang lapangannya. Kesebelasan paling bergengsi di Premier League yang merupakan salah satu kompetisi paling prestisius di dunia. Bayangkan, Anda ikut bermain ketika menaklukan Stoke city 4-0 tanpa balas. Ketika peluit panjang berbunyi, bukti kemengan Anda tidak terbantahkan lagi. Padahal, itu adalah pertandingan terakhir yang sangat menentukan apakah team Anda, Manchester United, bisa mempertahankan gelar juara atau tidak. Faktanya, anda memenangkan pertandingan terakhir itu. Pertanyaan saya, bagaimana Anda akan mengekspresikan kemenangan itu?
Dalam kehidupan kita juga demikian. Kita telah berhasil membukukan banyak sekali kemenangan. Jika boleh menghitungnya, kemenangan pertama kita peroleh ketika berhasil menyisihkan jutaan sperma lain untuk membujuk sel telur anggun dari rahim ibunda kita. Kemenangan berikutnya diraih ketika kita berhasil menjadi juara kelas. Memenangkan pertandingan cerdas cermat. Berhasil mendapatkan cinta gadis tercantik dikampus. Dipromosi jabatan. Terpilih menjadi orang yang mendapatkan sebuah award prestisius tingkat dunia dari kantor pusat di New York. Semuanya itu, membuat kita bersorak gembira. Sah. Kita berhak untuk mengekspresikan dan melampiaskan seluruh kebahagiaan itu. Sebentar dulu, apakah Anda dan seluruh team MU merayakan kemenangan 4-0 itu?
Ya..., seharusnya seluruh pemain MU bergembira ria dan bersorak sorai untuk kemenganangan itu. Namun, Anda yang menyaksikan pertandingan itu tentu mengetahui betul jika mereka malah tertunduk lesu. Apa pasal? Mengapa kemenangan itu disambut dengan kesedihan? Anda yang mengetahui penyebabnya tentu mafhum. Kemenangan 4-0 di Old Traffod dari Stoke City tidak cukup bagi MU untuk menghalangi Chelsea merebut gelar juara liga setelah pada saat yang nyaris bersamaan mereka menundukkan Wigan Athletics dengan skor telak 8-0 di Stamford Bridge. Sekarang kita tahu alasannya. Ternyata, sesungguhnya didalam diri kita masing-masing ada sebuah tujuan lain yang lebih besar selain memperoleh kemenangan pada sebuah pertandingan.
Dari peristiwa ini kita menemukan bahwa ketika kita menang, sesungguhnya belum tentu kita benar-benar menang. Sebab, kemenangan yang kita dapatkan sering sekali merupakan sebuah prestasi yang terikat kepada hukum relativitas. MU itu menang, relatif terhadap Stoke City. Tetapi, apakah MU juga menang realtif terhadap Chelsea? Pada tanggal 9 Mei 2010 ini tidak. Kita juga secara pribadi sering membukukan kemenangan-kemenang an relatif semacam itu. Kelihatannya saja kita menang. Padahal sebenarnya kita mirip pecundang. Misalnya seperti apa?
Baiklah. Baru saja kita menyaksikan drama kemenangan MU yang sayangnya sama sekali tidak bisa menjadikan klub para pesohor lapangan hijau itu memuncaki Liga Primer. Kita bahkan hampir setiap hari menemukan kemenangan yang sayangnya tidak bisa membawa kita untuk memuncaki seluruh kapasitas diri kita yang sesungguhnya. Misalnya, hari ini kita merasa sangat senang sekali karena telah menyelesaikan sebuah proyek yang sangat berat. Lalu kita merayakannya. Coba saja kita tanyakan, apakah proyek itu merupakan the ultimate goal kita? Biasanya tidak. Saya jadi teringat kisah guru mengaji saya tentang seorang Imam yang sangat saleh pada jaman kaum penerus ajaran Nabi. Kata beliau, Imam Syafi’i itu sedikit tidur banyak bekerja. Bahkan, beliau mempunyai prinsip yang unik tentang kata ’istirahat’. Untuk beliau istirahat itu berarti berhenti dari suatu pekerjaan yang sedang kita lakukan.
Lho apa bedanya dengan kita? Tidak ada bedanya. Namun, kalau kita ’berhenti’ artinya ya berhenti. Lalu kita pergi ke kafe, atau dugem sampai bangun kesiangan besok pagi. Minimal, kita bilang, ”Ntar dulu deh. Cape nih. Itstirahat dulu Bro. Toh masih bisa dikerjakan besok...” Beliau itu, kalau telah berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan beristirahat dengan cara mengerjakan pekerjaan lain. Lho, begitu kok disebut istirahat? Bukankah istirahat itu mirip seperti makan siang, ngobrol dikantin, dan kongkow-kongkow di cafe-cafe keren yang menjual secangkir kopi seharga empat setengah dollar? Iya. Itu jika kita menggunakan terminologi istirahat yang kita ketahui sekarang. Dulu, Imam Syafi’i sengaja beristirahat dengan cara ’berpindah’ pekerjaan. Kalau soal ini, orang-orang bule lebih mengerti isyarat Imam daripada kita. Buktinya, mereka menyebut istirahat itu dengan kata ’break’. Artinya jeda, atau ya berhenti itu. Tapi kan hal itu tidak berarti berhenti melakukan sesuatu yang produktif. Sebab berhenti melakukan suatu pekerjaan untuk mengerjakan hal yang lain itu juga ’break’ namanya.
Anehnya, terminologi kita menyebutnya istirahat. Makanya, tidak heran kalau kita sering secara keliru menerjemahkan kata ’break’ itu sebagai kesempatan untuk makan siang kemudian pergi ke Mushola untuk leyeh-leyeh. Setelah leyeh-leyeh itu wajah kita diterpa angin dari AC alam. Jika udara sejuk itu dicampur dengan perut yang sudah penuh, maka rumus kimianya menjadi sebuah molekul kompleks yang terdiri dari lima unsur logam berat bernama T, I, D,U, dan R. Makanya, saya sering sekali berkunjung ke gedung-gedung perkantoran mewah. Lalu mampir di tempat-tempat ibadah. Diantara mereka yang sholat itu, sering terlihat bergelimpangan orang yang sedang tafakur. Emh, maksud saya yang sedang mendengkur. Itu di jam kantor lho...
Ditempat lain saya melihat kok tempat-tempat nongkrong dipenuhi oleh asap rokok? Itu sudah jam 2 siang. Pasti para pekerja sudah kembali merapat ke meja kerjanya masing-masing. Apakah banyak orang yang lupa mematikan puntung rokok karena bergegas kembali ke kantor? Ternyata tidak. Puntung rokok itu masih menempel dibibir seksi para lelaki. Atau menyelinap diantara desah sensual para pekerja perempuan yang bergaya modis. Saya hanya membayangkan, seandainya saya merupakan pemilik saham perusahaan tempat mereka bekerja. Tentu saya bersedih hati. Mengapa? Karena saya mempertaruhkan uang saya dipasar modal dengan matian-matian, namun para pekerja yang saya bayar berperilaku seperti itu. Ada kalanya, para pemilik saham itu harus menangis selama berhari-hari karena hanya gara-gara seorang menteri mengundurkan diri harga sahamnya bisa anjlok sampai lebih dari setengahnya.
Apa peduli kita kepada para pemilik modal, iya kan? Itu sudah menjadi resiko mereka. Tetapi, penghiburan paling besar bagi para pemilik modal adalah ketika mereka menemukan para profesionalnya berjuang sepenuh hati untuk mengembangkan perusahaannya. Jika kita masih memasabodohkannya juga ya tidak apa-apa? Namun, mungkin kita perlu mengingat tentang sesuatu yang menyebabkan Sang Imam begitu seriusnya memperhatikan waktu dan kinerja. Sang Imam percaya bahwa bagi setiap insan Tuhan telah memberikan kapasitas diri yang nyaris tiada batasnya. Tiada batas dalam arti tak satupun manusia yang sudah mampu untuk mengeksplorasi seluruh kapasitas dirinya. Makanya, Sang Imam tidak terlalu tertarik dengan gagasan untuk ’beristirahat’ dengan cara kita. Dia lebih memilih untuk tiada henti-hentinya mengeksplorasi, dan terus mencari. Malu kepada Tuhan, katanya. Jika kita membiarkan segala hal terbaik ini terbengkalai begitu saja.
Biasanya, orang yang malu kepada Tuhan tidak gampang terlena oleh pencapaian kecil. Bahkan ketika dia mengira telah berhasil membuat pencapaian besar, dia bertanya; Tuhan, pencapaian apa lagi yang bisa hamba wujudkan? Lalu dia memulainya lagi. Begitu terus hingga merasa bahwa itulah makna ’break’ yang sesungguhnya. Sebab, sekalipun kita tidak pernah berhenti meski sedetik. Tidak pernah tidur barang sekejap. Menghindari lalai barang sesaat. Kita tidak akan pernah mampu mengaktualisasikan seluruh kapasitas diri ini. Jadi, bagaimana mungkin kita bisa dengan begitu yakinnya mengatakan ;”Sudah kulakukan yang terbaik!”?
Sebentar dulu, apakah Sang Imam tidak pernah beristirahat? Dia juga manusia. Makanya dia tidur dan makan seperti layaknya kita. Namun, dia tidur tidak terlalu banyak. Dan makan secukupnya. Lalu detik demi detik yang dimilikinya digunakan untuk kembali membaktikan diri kepada Sang Pencipta, dengan cara menggunakan citaptaan yang ada didalam dirinya untuk terus berkarya. Sebab, hanya dengan cara itu saja kita bisa menjadi juara sejati. Yaitu, juara yang pada akhir pertandingan nanti bisa merayakan kemenangan ini. Bukan pemenang pertandingan final yang tidak mendapatkan piala. Melainkan pemenang yang dapat dengan bangga mengatakan kepada Tuhan. ”Tuhan, kupersembahkan pencapaian terakhirku untuk melengkapi setiap pencapaian yang berhasil kuraih detik demi detik dalam hidupku.” Itulah sesungguhnya yang menentukan apakah kita meraih kemenangan betulan. Atau sekedar kemenangaan bo’ongan.
Mari Berbagi Semangat!
Catatan Kaki:
Jika kita percaya bahwa apa yang kita lakukan saat ini akan menentukan apa yang akan kita dapatkan dimasa depan, maka kita tidak akan merelakan barang sedetikpun waktu yang kita miliki untuk hal-hal yang sia-sia
0 komentar:
Posting Komentar