Oleh:
Dadang Kadarusman
Learning Facilitator of “Fundamental Leadership Development” Program
Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
Apakah anda pernah mendengar seseorang mengatakan; ”Cari duit haram saja susah, apalagi yang halal?”. Saya pernah. Dan ketika mendengar itu, hati saya miris. Bukan karena sikap orang itu. Melainkan karena ketakutan saya untuk ikut-ikutan mempunyai prinsip hidup seperti itu. Sebab, saya ingin agar seluruh sel hidup dalam tubuh istri dan anak-anak, serta diri saya sendiri hanya memakan makanan yang dihasilkan dari nafkah yang halal saja. Saya takut Tuhan marah karena menafkahi keluarga dengan sesuatu yang Dia tidak suka. Masalahnya adalah; lingkungan bisnis kita sering menganggap seolah hal semacam itu merupakan sesuatu yang sudah lumrah.
Suatu sore belum lama ini, sahabat saya menelepon. Dia mengabarkan kalau saat ini sedang berada di sebuah pameran buku. Saya terkejut ketika dia bilang bahwa buku edisi pertama saya yang pertama kali diterbitkan di tahun 2005 itu katanya juga ikut dipamerkan. Padahal, selalu saya katakan bahwa buku itu sudah sejak lama tidak ada dipasaran. Buku itu sekarang muncul lagi setelah hampir dua tahun lamanya hak penerbitannya kembali ke tangan saya. Apa iya penerbit sebesar itu melakukan tindakan serupa itu? Begitu saya berpikir. Tetapi, saya yakin sahabat saya tidak sedang bercanda.
Maka keesokan harinya, saya meluncur ketempat pameran buku itu. Dan benar saja. Disana terdapat buku saya yang dulu oleh penerbitnya dilaporkan sudah tidak ada stok lagi. Memang, ada sedikit stok. Namun, jumlah copy yang ada dipameran itu saja sudah melebihi angka yang ada dalam lembar laporan mereka sekitar 2 tahun lalu. Untuk sekedar dokumentasi, saya memfoto stand pameran itu. Lengkap dengan tumpukan buku-buku saya. Lalu membeli satu copy. Lantas, saya tempelkan struk pembeliannya dibuku itu. Beberapa saat sebelum pengembalian hak penerbitan itu, memang saya sempat meminta penjelasan mengenai keanehan laporan status stok buku yang tidak terlacak sejumlah lebih dari 500 eksemplar.
Menemukan fakta ini, saya sempat menerawang atas apa yang akan terjadi pada naskah buku lain yang saya miliki. Padahal, tahun 2010 ini saya sudah mencanangkan untuk menerbitkan minimal 4 judul buku baru. Dan jika segala sesuatunya lancar; tepat pada saat ulang tahun pernikahan kami, dibulan April ini sudah tersedia di toko buku. Sesaat kemudian, kekhawatiran saya atas fakta ini segera tergantikan oleh kata-kata orang itu tentang duit tadi. Tetapi, saya tidak yakin kalau dari menjual buku itu mereka mendapatkan banyak penghasilan. Lalu, pikiran saya berkata;”Mungkin sekarang mereka menemukan stok buku yang dulu hilang.” Daripada buku itu masuk ke tempat sampah, kan lebih baik di jual ke orang? Tetapi, siapa sih sesungguhnya pemilik buku-buku itu?
Dari sinilah kemudian saya teringat pelajaran yang disampaikan guru mengaji saya tentang ahlak Rasulullah. Beliau mengatakan bahwa Rasulullah SAW adalah seorang pengusaha yang sangat jujur. Dalam berniaga, beliau memastikan tidak ada hak-hak pihak lain yang terlanggar. Bahkan saking jujurnya Kekasih Allah itu, sampai-sampai beliau memberi tahu pelanggannya tentang berapa modal dasar barang yang dijualnya. Misalnya, beliau membeli barang modal seharga 10 dirham. Lalu membawa barang itu untuk dijual kembali. Dan saat bertemu dengan calon pembeli, Rasulullah mengatakan bahwa beliau membeli barang itu dipasar dengan harga 10 dirham. Lalu beliau menetapkan harga jual kembali dengan selisih keuntungan yang diambilnya.
Saya tidak terlampau kagum ketika mendengar kisah ini. Karena, waktu kisah itu diceritakan; umur saya masih kecil. Bukan tidak kagum kepada ahlak Nabi. Melainkan karena saya tidak memiliki kaitan dan pemahaman langsung tentang apa yang sesungguhnya terjadi didunia bisnis. Namun, ajaib sekali. Pelajaran yang saya peroleh dimasa belia itu masih bersemayam didalam alam bawah sadar saya hingga kini. Sehingga, ketika saya benar-benar mulai mengenal dunia kerja itu seperti apa; saya bisa menemukan relevansinya. Sekarang saya mengerti, mengapa Tuhan mengutus Nabi sebagai seorang pedagang. Karena, Tuhan ingin agar Nabi memberi contoh nyata tentang tata cara berniaga yang penuh berkah.
Nabi tidak pernah melarang para pedagang untuk mengambil keuntungan yang banyak. Karena, dalam berbisnis kita boleh mengambil untung sebanyak yang kita bisa. Kalau kita bisa mengambil untung yang banyak; silakan saja. Sebab, pelanggan memegang kendali sepenuhnya untuk membeli lagi, atau mencari pemasok lain saja. Tetapi, Nabi mengajarkan kita tentang etika. Supaya hasil yang kita peroleh dalam usaha tidak hanya banyak jumlah fisiknya saja. Melainkan juga berkah nilainya. Itulah sebabnya dalam berbisnis, Nabi mengutamakan kejujuran. Dan menghindari muslihat.
Kata guru mengaji saya; ”Nabi melarang kita mengurangi takaran.”. Kita bilang satu kilo, tetapi berat sesungguhnya hanya 950 gram. Kita melaporkan terjual 3, padalah sisa hasil penjualan unit lainnya disembunyikan. Kita mengaku rugi kepada pemilik saham, padahal dalam pembukuan yang sebenarnya mencatatkan keuntungan. Ketika beliau menyampaikan ajaran itu; manusia berada pada jamam jahiliyyah. Artinya, kecurangan tengah merajalela. Tipu muslihat menjadi nafas cara berbisnis para pengusaha. Dan kebohongan, merupakah senjata utama para pelobi. Sedangkan kerakusan merupakan sifat dasar perencana proyek.
Anda yang bukan pengusaha mungkin terkekeh-kekeh. Karena, melalui guru mengaji saya Sang Nabi tengah menasihati para pengusaha. Tetapi, jangan lupa; bahwa sebelum menjadi pengusaha beliau juga seorang pegawai upahan. Beliaulah yang menggembalakan domba-domba milik para majikan. Dan dari pekerjaannya itulah beliau memperoleh bayaran. Sama seperti kita. Ternyata, sebelum diangkat menjadi Nabi; Muhammad juga adalah seorang pekerja. Hal terindah yang paling saya ingat tentang sifatnya yang terekam dalam sejarah adalah; para majikannya tidak pernah menemukan karyawan sejujur, dan segiat insan pilihan itu. Makanya, gelar Al-Amien melekat kepada dirinya sejak masih kanak-kanak hingga wafat. Artinya, orang-orang bersaksi bahwa Dia adalah manusia yang jujur, dan dapat dipercaya. Baik didalam kehidupannya sebagai seorang pekerja. Maupun sebagai pengusaha. Bisakah kita juga menirunya?
Mari Berbagi Semangat!
Catatan Kaki:
Jika kita tahu bahwa mencari uang haram itu susah, mengapa kita tidak mengupayakan untuk memperoleh yang halal saja?
0 komentar:
Posting Komentar